Pada masa kerajaan Sunda, istilah JONGOS sudah ada sejak abad ke-7 hingga ke-16. Istilah ini merujuk pada orang-orang yang bekerja atau mengabdi pada kerajaan dan keluarga bangsawan di wilayah Jawa Barat dan Banten, termasuk kota-kota tua seperti Bogor, Cirebon, dan Sukabumi. Kata Jongos diambil dari kata “jong” yang berarti melayani atau mengabdi. Meskipun berfungsi sebagai pelayan, terdapat perbedaan signifikan dengan abdi dalem dalam hal tugas dan status sosial, di mana jongos memiliki fokus pada pekerjaan rumah tangga.
Di masa kolonialisme Belanda, peran jongos semakin meluas, dengan banyak yang bekerja di rumah menir Belanda dan orang Eropa di sepanjang Jawa Barat hingga Timur. Antara tahun 1816 sampai 1943, istilah jongos tidak hanya mencakup mereka yang mengurus rumah tangga tetapi juga berbagai jenis pekerjaan di dalam rumah menir. Perubahan ini menandakan transisi besar dalam arti dan pemaknaan istilah jongos. Setelah masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kata jongos mengalami pergeseran makna, menjadi ungkapan merendahkan untuk menggambarkan individu yang dinilai tidak setia, termasuk mereka yang bekerja sama dengan pihak kolonial.
POIN PENTING:
- Sejarah Jongos
Jongos muncul pada abad ke-7 hingga ke-16, dengan arti melayani atau mengabdi. - Pekerjaan Jongos
Jongos berfokus pada pekerjaan rumah tangga, berbeda dari abdi dalem yang lebih luas. - Peran pada Masa Kolonial
Banyak jongos bekerja di rumah menir Belanda selama periode kolonial. - Perubahan Makna
Istilah jongos berkembang menjadi istilah untuk semua pekerjaan di rumah menir Belanda. - Makna Pasca-Kemerdekaan
Setelah 1945, jongos dijadikan ejekan untuk merendahkan seseorang. - Penggunaan Sosial
Jongos digunakan untuk merujuk individu yang dianggap berkhianat kepada bangsa.
Kesimpulannya, istilah jongos memiliki perjalanan sejarah yang kaya. Dari entitas yang melayani kerajaan hingga digunakan sebagai ejekan sosial, perubahan maknanya mencerminkan dinamika sosial dan politik di Indonesia. Memahami asal usul dan perkembangan istilah ini penting untuk menghargai konteks budaya dan sejarah bangsa.